Pengertian Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan
dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai
dengan rasa sakit. Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan
hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
1. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab,
jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena
melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan,
maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
2. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa
nifas tidak.
Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya
selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah
demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa
empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami
diharuskan
menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam
masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung
terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
3. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena
seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masa baligh seorang
wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
4. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu
biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang
biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama
dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak
diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi
pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si
wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan
terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang
wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama
keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah
pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih
sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika
darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini
mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al-Mughni' bahwa Imam Malik
mengatakan: "Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga
hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti
darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun,
keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal
ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi
penjelasan atas segala sesuatu.
Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali,
kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi
kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban
sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana
firman Allah:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
..." [At-Taghabun : 16]
5. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh
dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum
empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur
dalam madzhab Hanbali.
Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang
menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu
dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash
bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata:
"Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena
hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau
isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan
disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.
Sumber : almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar